Kamis, 19 Juli 2012

BIOKIM Biomarker telah digunakan sejak lama dalam pengobatan klinis


Pendahuluan
Biomarker telah digunakan sejak lama dalam pengobatan klinis terutama dalam menunjang diagnosis ataupun memonitor penyakit dengan cara mengukurnya secara longitudinal. Secara umum biomarker ini didefinisikan sebagai suatu besaran yang khas yang diukur secara objektif dan kemudian dievaluasi serta digunakan sebagai indikator proses biologi, patogenik ataupun respon parmakologi terhadap intervensi pada suatu penyakit (Andrew, dkk., 2006). CSS biomarker dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam diagnosis karena dengan data biomarker tersebut dapat diketahui perubahan yang terjadi di dalam cerebral milieu yang berhubungan dengan kondisi penyakit (Teunissen, dkk., 2005). Beberapa contoh biomarker yang sudah banyak digunakan di bidang kelainan neurodegenerative dan dementias adalah polipeptida rantai ringan neurofilament untuk multiple sclerosis (MS) (Avasarala, 2004), dan protein tau untuk Alzheimer’s dementia (AD) (Blennow, dkk., 1995). 
Dengan demikian biomarker CSS sangat penting karena dapat digunakan sebagai penanda adanya perubahan pada lingkungan otak yang berhubungan dengan keadaan otak itu sendiri.Hal ini telah menjadikan CSS sebagai bahan penelitian yang telah banyak diteliti oleh peneliti di seluruh dunia, terutama mengenai komposisinya sehingga berperan sebagai biomarker yang dapat digunakan dalam menopang diagnosis penyakit yang berhubungan dengan hidrosefalus ataupun cedera otak (brain injury).Namun demikian, idealnya biomarker CSS tersebut hendaklah diukur sebelum dan sesudah operasi, dengan tujuan untuk mendapatkan indeks klinis yang berguna untuk diagnosis dan progresi penyakit.
Cairan Serebro Spinal (CSS)
Definisi, fisiologi dan patologi
Cairan serebro spinal atau cerebrospinal fluid atau liquor cerebrospinalis adalah merupakan cairan jernih yang diproduksi di dalam ventrikel otak. Cairan ini mengisi ruangan subarachnoid di dalam otak (ruang antara skull dan kortek cerebral) atau secara lebih spesifik adalah mengisi ruangan antara arachnoid dan lapisan pia meninges. CSS adalah cairan bersifat basa dan berperan sebagai cushion atau buffer kortek termasuk otak dan spinal cord dan untuk merendami sistem syaraf pusat (central nervous system / CNS) di dalam milieu cair yang dinamis (Gambar 1).
Gambar 1 Cairan Serebro Spinal Menyelimuti Otak (Thompsons, 2006).
Total volume CSS pada manusia adalah sekitar 140 ml, 23 ml dari total volume CSS tersebut mengisi sistem ventrikel dan sisanya terdistribusi di antara ruang subarachnoid yang melingkupi otak dan spinal cord dan ruang interstitial yang melingkupi elemen-elemen CNS. Permukaan ventrikel atau ependymal, bersifat permiabel terhadap CSS maupun molekul-molekul berukuran besar lainnya.Sebaliknya, kompartemen vaskular otak terpisahkan dari ruang CSS oleh endotil kapiler khusus, dan dapat berperan untuk mencegah mengalirnya molekul yang berdiameter lebih besar dari 20 angstrom.Lapisan ependyma adalah pembentuk anatomi dasar dari blood-brain barrier.
Rate produksi CSS pada manusia adalah sekitar 0,3-0,4 ml/menit. Sehingga volume CSS diperbaharui setiap 5-7 jam.Sekitar 70 % CSS diproduksi oleh pleksus koroid, dan sisanya terbentuk sebagai hasil dari aktivitas metabolik otak dan spinal chord parenchyma.Produksi CSS oleh pleksus koroid berawal sebagai darah kemudian disaring melalui fenestrations kapiler koroid.Ultrafiltrat yang dihasilkan kaya dengan protein masuk menuju stroma pleksus koroid dan berpindah menuju clefts sel-sel epitil koroid. Pada tahap ini terjadi bermacam-macam tahapan proses, natrium dipisahkan menuju ventrikel digantikan oleh kalium melalui pompa sodium-potassium-adenosine triphospahte (Na+-K+-ATPase), yang diatur oleh sel epitil. Ion-ion klorida dan bikarbonat berpindah secara pasif menuju CSS sebagai akibat adanya aktivitas anhidrase karbonat pada sel epitil.Protein selanjutnya menuju sistem ventrikel melalui dua mekanisme yang memungkikan; pinocytosis dan melalui pori-pori yang kecil.Pemisahan air dari epitil koroid menuju ventrikel terjadi akibat perbedaan tekanan osmotik pada sekresi natrium, pemisahan ini lebih dikenal sebagai migrasi pasif.Di samping itu juga dikenal adanya produksi CSS ekstra koroid (Extrachoroidal), sekitar 30 % CSS terjadi pada CNS parenchyma.
CSS mempunyai banyak peran mencakup perlindungan mekanik otak, distribusi faktor-faktor neuroendokrin dan memfasilitasi aliran darah pada otak.Aliran CSS mengikuti ekspansi dan kontraksi arteri yang menyerupai pergerakan airmancur yang dapat mencegah perubahan aliran darah intrakranial. Bila terjadi gangguan aliran CSS, maka tidak hanya berpengaruh pada aliran CSS itu sendiri, tetapi juga berpengaruh pada aliran darah intrakranial yang sudah pasti akan berpengaruh pada gangguan fungsi neuron dan glial. Dalam kesetimbangan ini juga sangat dipengaruhi oleh sistem vena.
Terjadinya hubungan CSS dengan sistem limfa telah dibuktikan pada sistem limfa mamalia.Data menunjukkan bahwa hubungan CSS-limfa terjadi pada saat pleksus koroid berkembang dan mampu mengsekresikan CSS (terjadi di dalam utero).Pada saat tersebut bisa terjadi kelainan hubungan CSS mencakup hidrosefalus, tidak normalnya sistem CSS-limfa (Thompsons, 2006).
Analisis CSS
Analisis CSS merupakan tes laboratorium untuk menguji sampel cairan yang diambil dari sekitar otak dengan kord spinal.Seperti telah diuraikan di atas CSS berupa cairan jernih, berair yang melindungi sistem syaraf pusat dari cedera dan gesekan dengan struktur tulang yang melingkupi.CSS mengandng beragam susbtan khususnya glukosa (gula), protein, dan sel-sel darah putih (WBC) dari sistem imun. CSS diambil dengan jarum suntik sesuai prosedur yang dikenal dengan nama prosedur lumbar puncture seperti ditunjukkan pada Gambar 2 (Torpy, dkk., 2006). Tujuan analisis CSS adalah untuk mengdiagnosis kelainan medis yang mempengaruhi sistem syaraf pusat, mencakup; meningitis, encefalitis, tumor atau kanker sistem syaraf, siphilis, pendarahan (hemorrhaging) sekitar otak dan kord spinal, multiple sclerosis, dan Guillain-Barré syndrome.
Gambar 2 Pengambilan CSS Sesuai Prosedur Lumbar Puncture (Torpy, dkk., 2006)
Dalam hal tertentu proses lumbar puncture guna mengambil sejumlah kecil CSS untuk analisis terkadang dapat mengakibatkan komplikasi yang serius. Lumbar puncture hendaklah dilakukan dengan ekstra hati-hati, dan dilakukan hanya apabila memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dari resiko yang akan ditimbulkan. Sebagai contoh, pada orang yang memiliki koagulasi (blood clotting) atau kelainan pendarahan, lumbar puncture dapat menyebabkan pendarahan sehingga dapat menekan kord spinal.Jika terdapat masa tumor otak yang besar, pengambilan CSS dapat mengakibatkan posisi otak agak turun ke bawah dalam kerangka otak (herniate), menekan stem otak dan struktur vital lainnya sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau bahkan kematian. Masalah seperti ini dapat dihindari dengan cara menguji koagulasi darah melalui tes darah ataupun dengan melakukan computed tomography scan (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) scan sesaat sebelum dilakukan lumbar puncture.
CSS untuk orang normal adalah jernih dan tidak berwarna, pada orang yang mengalami infeksi CSS nya agak keruh, berwarna kuning muda atau kuning bila kelebihan protein seperti yang didapatkan pada penderita kanker atau inflamasi, tercampur darah bila terjadi perdarahan di otak, atau berwarna kuning kecoklatan (xanthochromic) bila terjadi perdarahan otak yang sudah lama.
Prosedur analisis yang banyak digunakan dalam menganalisis bahan-bahan biokimia termasuk CSS adalah ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay).Tehnik ELISA ini pada intinya digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen di dalam sampel.Tehnik ini menggunakan dua antibodi, satu antibodi spesifik terhadap antigen (capture antibody), dan satunya lagi adalah antibodi pendeteksi yang dapat bereaksi dengan kompleks anitgen-antibodi, dan kemudian berpasangan dengan sebuah enzim.Antibodi yang kedua ini yang lebih dikenal dengan nama ”enzyme-linked” dapat menimbulkan terbentuknya perubahan warna setelah ditambahkan substrat yang bersifat kromogen atau fluorogen yang mampu menghasilkan signal, dan dapat dibaca secara spektrofotometri. Dikenal ada 2 tehnik ELISA yaitu: sandwich dan competitive ELISA
Sandwich ELISA assays
Assay ini digunakan untuk menditerminasi konsentrasi antigen pada sampel. Tehnik ini memberikan hasil cepat dan akurat, demikian juga bila tersedia antigen standar yang murni, assay ini dapat digunakan untuk mendeterminasi jumlah antigen yang tepat pada sampel yang diteliti. Sandwich ELISA memerlukan dua antibodi yang dapat mengikat epitop yang tidak overlap dengan antigen. Hal ini dapat dipenuhi dengan menggunakan dua antibodi monoklonal yang dapat mengenali bagian tertentu epitop ataupun menggunakan antibodi poliklonal yang telah dimurnikan.
Prinsip dasar sandwich ELISA assay adalah satu antibodi (antibodi penangkap, “capture”) dimurnikan dan ditempelkan pada permukaan padat biasanya ditempelkan langsung pada dasar plate well (Gambar 3). Selanjutnya ditambahkan antigen sampel atau standar dan dibiarkan untuk membentuk kompleks dengan antibodi yang menempel. Antigen-antibodi yang tidak berikatan dipisahkan dengan cara mencucinya. Kemudian ditambahkan antibodi kedua atau lebih dikenal sebagai antibodi berlabel (antibodi pendeteksi, ‘detection”) dan dibiarkan untuk berikatan dengan antigen yang disebut juga membentuk sandwich. Kuantitasi assay dilakukan dengan cara mengukur jumlah antibodi berlabel yang berikatan dengan matrik dengan menggunakan substrat. Adanya enzim akan mengubah warna substrat, sehingga dapat diditerminasi secara kolorimetri. Keuntungan tehnik ini adalah antigennya tidak perlu dimurnikan saat penggunaan, dan assaynya sangat spesifik.Kerugiannya adalah tidak semua antibodi dapat digunakan.
Gambar 3 Diagram Cara Uji Sandwich ELISA
Protokol umum metoda sandwich ELISA:
1. Sebelum assay, kedua antibodi dimurnikan dan salah satu diberi label.
2. Plate microtiter yang paling baik untuk assay ini adalah terbuat dari polyvinylchloride (PVC).
3. Tempelkan antibodi yang tidak berlabel pada dasar masing-masing plate. Dengan memasukkan sekitar 50 µL larutan antibodi ke masing-masing well. PVC akan mengikat sekitar 100ng/well (300 ng/cm2). Banyaknya antibodi yang digunakan sangat bergantung pada masing-masing assay, namun jika dikehendaki pengikatan yang maksimal gunakan paling tidak sebanyak 1 µg/well. Jumlah ini di atas kapasitas well, namun akan memberikan pengikatan yang lebih cepat.
4. Inkubasi microtiter plate semalam pada temperatur 4°C untuk mendapatkan penempelan atau pengikatan yang sempurna.
5. Cuci wells sebanyak dua kali menggunakan PBS. Pisahkan larutan pencuci, dengan memipet atau suksion.
6. Yang tersisa adalah protein antibodi yang terikat pada microtiter plate dan dijenuhkan dengan bufer. Tambahkan masing-masing well sampai penuh dengan 3% BSA/PBS dan 0,02% natrium azida. Selanjutnya diinkubasikan lagi selama 2 jam sampai semalaman pada temperatur kamar. Catatan: natrium azida adalah sebagai inhibitor horseradish peroxidase (HRP). Jadi jangan menambahkan natrium azida pada buffer jika menggunakan antibodi berlabel HRP untuk tujuan determinasi.
7. Cuci wells sebanyak dua kali menggunakan PBS. Pisahkan larutan pencuci menggunakan suksion atau dipipet.
8. Tambahkan 50 µL larutan antigen sampel atau standar pada masing-masing well. Semua pengenceran yang dilakukan hendaklah menggunakan bufer pemblok (3% BSA/PBS). Inkubasikan paling tidak selama 2 jam pada temperatur kamar dan humiditas atmosfer.
9. Cuci plate sebanyak empat kali menggunakan PBS. Pisahkan larutan pencuci dengan suksion atau memipetnya.
10. Tambahkan antibodi kedua (antigen-konyugasi) yang berlabel. Untuk mendapatkan kuantifikasi yang akurat penambahan antibodi kedua ini haruslah berlebih.
11. Inkubasikan selama 2 jam atau lebih pada temperatur kamar dan humiditas atmosfer.
12. Cuci beberapa kali menggunakan PBS.
13. Tambahkan substrat sesuai petunjuk pabrik, setelah diinkubasikan sesuai dengan yang disarankan oleh pabriknya, maka dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan ELISA plate reader pada panjang gelombang yang sesuai.
Catatan: beberapa substrat enzim adalah sangat berbahaya karena bersifat karsinogenik Jadi tangani sesuai dengan Material Safety Data Sheets untuk mendapatkan hasil yang maksimal ataupun keselamatan. Untuk hasil kuantitatif badingkan signal sampel yang tidak diketahui dengan standar sesuai dengan kurva standar yang diperoleh.
Competitive ELISA Assays
Jika tidak dimiliki dua antibodi yang berpasangan “matched pair” untuk target sampel yang dianalisis, maka disediakan opsi lain yaitu competitive ELISA. Keuntungan competitive ELISA adalah tidak perlu menggunakan antibodi primer yang dimurnikan.Untuk melakukan assay competitive ELISA, diperlukan reagen yang dapat berkonyugasi dengan enzim pendeteksi seperti horseradish peroxidase (HRP). Enzim tersebut kemungkinan dapat berikatan dengan imunogen ataupun antibodi primer. Protokol umum di bawah ini adalah untuk assays menggunakan imunogen berlabel sebagai kompetitornya (Gambar 4). Secara singkat metode competitive ELISA adalah antibodi primer tidak berlabel dilapiskan pada masing-masing wells dari 96 well microtiter plate. Selanjutnya plate ini diinkubasikan bersama-sama dengan standar dan sampel (Gambar 4).Setelah terjadi reaksi yang ekuilibrium selanjutnya ditambahkan imunogen konyugasi. Konyugasi ini akan mengikat antibodi primer dimanapun tempat ikatannya. Jadi semakin banyak imunogen dalam standar atau sampel, semakin sedikit jumlah imunogen konyugasi yang terikat.Plate dikembangkan dengan penambahan substrat dan perubahan warnanya kemudian diukur.
Gambar 4 Diagram Cara Uji Competitive ELISA
Protokol umum metoda competitive ELISA
1.Microtiter plate yang terbuat dari polyvinylchloride (PVC) adalah yang paling banyak digunakan.
2. Tambahkan 50 µL antibodi primer (capture) yang telah diencerkan pada masing-masing well. PVC dapat mengikat sekitar 100 ng/well (300 ng/cm2). Jumlah antibodi yang digunakan sangat bergantung pada masing-masing assays, tapi bila diinginkan ikatan yang maksimal paling sedikit harus digunakan antibodi sebanyak 1 µg/well. Selanjutnya diinkubasikan selama 4 jam pada temperature 4°C selama semalam.
3. Cuci wells dua kali menggunakan PBS. Larutan pencuci dapat dibuang dengan membalikkan plate di atas wadah yang pas.
4. Bagian yang tersisa merupakan pengikatan protein dalam microtiter plate dijenuhkan dengan menginkubasikan menggunakan blocking buffer. Tambahkan wells sampai penuh dengan 3% BSA/PBS dan 0,02% natrium azide. Inkubasi selama 2 jam sampai semalam pada humiditas atmosfer dan temperatur kamar.
5. Cuci wells dua kali menggunakan PBS.
6. Tambahkan 50 µL larutan standar atau sampel ke dalam wells. Semua pengenceran dilakukan dengan menggunakan blocking buffer (3% BSA/PBS dan 0,05% Tween-20). Catatan: natrium azida adalah inhibitor horseradish peroxidase (HRP). Jangan gunakan natrium azida dalam bufer atau larutan pencuci jika menggunakan konyugasi HRP.
7. Tambahkan 50 µL larutan antigen-konyugasi ke dalam wells. Semua pengenceran dilakukan menggunakan blocking buffer (3 % BSA/PBS dengan 0,05 % Tween-20). Inkubasi selama 2 jam pada temperatur kamar dan humiditas atmosfer.
8. Cuci plate empat kali menggunakan PBS.
9. Tambahkan substrat sesuai petunjuk pabriknya. Setelah diinkubasi sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh pabriknya, optical densities pada panjang gelombang yang bersesuaian dapat diukur dalam ELISA reader.
Biomarker CSS
Biomarker CSS sangat berguna karena dapat memberikan informasi mengenai perubahan di dalam mileu otak yang berhubungan dengan kondisinya.Dengan biomarker CSS juga dapat diprediksi ataupun diasumsikan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam parenchyma otak dan juga di dalam periventricular white matter. Ada beberapa bahan yang dapat berperan sebagai biomarker dalam CSS, yaitu:
1. Neuropeptida
• Somatostatin
• Vasoactive Intestinal Peptide
• Delta-sleep-inducing peptide
• Neuropeptida Y
2. Neurotransmiter
3.Cerebral metabolites
• Laktat
• Radikal bebas
4.Enzim
• Neuron Specific Enolase
• Plasminogen Activator Inhibitor-1
• Prostaglandin D synthase
5.Neural cell-derived proteins
• Myelin Basic Protein
• S-100b
• Nerve Growth Factor
• Tau protein
• Glial Fibrillary Acidic Protein
• Neurofilament triplet proteins
• Sulfatide
• Glycoprotein D2
6. Sitokin
Pada tulisan ini dibahas 3 materi CSS sebagai biomarker, termasuk NGF mewakili Neural-Cell derive protein dan IL-1, IL-6 mewakili sitokin.
Nerve Growth Factor (NGF)
Nerve growth factor (NGF) merupakan faktor neurotrofik yang telah diindetifikasi dengan baik dan berperan dalam perkembangan dan perawatan periperal sistem syaraf pusat. Dikenal 2 jenis reseptor NGF berdasarkan afinitasnya, reseptor NGF dengan afinitas rendah adalah glikoprotein dengan ukuran 75 kD dan NGF afinitas tinggi reseptornya adalah molekul berukuran 140 kD dengan domain tyrosine kinase yang diberi kode trkA proto-oncogene (TrkA) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 (Sutter, dkk., 1979; Klein, dkk., 1991; Kawamoto, dkk., 2002; He and Gracia, 2004).
Gambar 5 Struktur NGF Berikatan Dengan Reseptornya
(He and Garcia, 2004).
Demikian juga dalam aktivitas neurotrofik telah banyak didapatkan bukti akan adanya fungsi ganda NGF dalam sel-sel immunocompetent termasuk lymphocytes, monocytes/macrophages, dan sel-sel mast melalui reseptor NGF (Kawamoto, 2002). Didapatkan pula bahwa NGF dapat mempercepat tidak saja diferensiasi granulosit dari PNMC dan sel bone marrow murine, tetapi juga mempercepat diferensiasi jaringan ikat sel mast. NGF juga dapat menopang kelangsungan hidup neutrofil, eosinofil, dan sel mast dengan cara mencegah apoptosis dan memicu fungsi-funsi neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel mast: fagositosis, produksi superoksida, produksi matriks metalloproteinase-9, dan kemotaksis. Kesemuanya ini berujung pada kemungkinan bahwa NGF dapat berperan seperti sitokin yang mampu untuk memodulasi respon inflamasi dan juga perbaikan jaringan. Hal ini juga ditopang dengan data hasil penelitian yang mendapatkan bahwa pemberian NGF pada jaringan kutaneus mempercepat penyembuhan jaringan pada mencit normal dan yang menderita diabetes (Matsuda, dkk., 1998; Angelastro, dkk., 2000; Basel, dkk., 2005).
Hidrosefalus dapat disebabkan oleh beragam kondisi yang saling tidak berhubungan, seperti intraventricular hemorrhage, meningitis, trauma, tumor, atau sesuatu yang kemungkinan berhubungan dengan spinal dysraphism atau cerebral malformations lainnya.Akumulasi CSS pada ventrikel yang tidak normal akibat gangguan aliran, absorpsi yang tidak tepat, atau produksi yang berlebihan menyebabkan terjadi menurunnya tekanan intrakranial (ICP) dan dilasi ventrikel. Dalam kasus semacam ini diketemukan terjadi peningkatan NGF dibandingkan dengan kontrol (Hocchaus, dkk., 2001).
NGF neurotrofin dan neurotrofin-3 (NT-3) berperan dalam keberlangsungan, diferensiasi, dan synaptogenesis neuron, khususnya dalam perkembangan otak.Penurunan konsentrasi NGF diketemukan pada korteks kongenital H-Tx tikus coba penderita hidrosefalus.Demikian juga setelah trauma cedera otak diketemukan adanya kenaikan protein NGF pada tikus coba.
Nerve growth factor (NGF) dilaporkan pula sangat berkaitan dengan Alzheimer’s dementia, dan ditunjukkan pula bahwa penyakit tersebut kemungkinan dapat dicegah bila diberikan NGF secara langsung ke dalam otak. Namun demikian, karena NGF berupa protein yang tidak bisa melewati blood-brain barrier, maka fokus penelitian adalah mencari suatu bahan yang dapat melewati blood-brain barrier dan dapat menginduksi sintesis NGF di dalam otak. Seperti telah diuraikan di atas NGF memiliki 2 reseptor yaitu TrkA dan p75 (NTR).NGF kemungkinan berperan dalam aksi neuroprotective melalui signaling terhadap reseptor tirosin kinase dan memicu apoptosis beberapa sel melalui reseptor p75 (Gambar 6).
Gambar 6 Siklus Aktivasi NGF (Chroston, 2000).
Ikatan NGF dengan aktivitas tinggi memerlukan kedua reseptornya yaitu baik TrkA dan p75 (NTR).Pengikatan NGF dengan reseptor TrkA mengakibatkan aktivasi reseptor tirosin kinase dan kaskade signaling downstream (Gambar 6).Salah satu dari downstream signaling pathways NGF mengaktifkan fosfolipase C, melepaskan DAG dan IP3 serta mengaktifkan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan downstream pathways seperti protein kinase C. Siklus pengaktifan NGF lainnya adalah aktivasi yang dimediasi ras.Siklus ini diinisiasi melalui rekrutmen dan aktivasi Shc, yang menghasilkan aktivasi ras melalui Grb-2 dan Sos-1. Kaskade siklus ini mencakup; raf, Mek dan Erk. Efektor downstream siklus ras meliputi aktivasi fos dan jun untuk membentuk AP-1, pengaktifan gen melalui faktor transkripsi pada siklus ini. Faktor transkripsi lainnya yang berperan dalam respon NGF termasuk Egr dan CREB.Faktor transkripsi famili Egr dan Mek/Erk berperan dalam pembentukan neurit yang diinduksi oleh NGF.Faktor transkripsi kelompok CREB berperan dalam survival simpatetik neuron yang diinduksi oleh NGF (Chroston, 2000).
ELISA NGF
ELISA NGF dilakukan menggunakan prinsip tes enzim imunoassays untuk NGF-
b tikus dan manusia dengan dua antibodi monoklonal yang dibeli dari Roche Applied Science. Prinsip tes (Sandwich ELISA) untuk analisis NGF ini adalah: pertama, antibodi anti-NGF diadsorpsikan pada wall microtiter plate. Kedua, bagian-bagian ikatan yang non spesifik pada wall dijenuhkan dengan larutan pemblok.Pada inkubasi tahap kedua, NGF yang terkandung pada sampel/standar diikat oleh antibodi yang tidak bergerak.Pada tahap ketiga, anti-NGF-galaktosidase mengikat NGF yang mengikat antibodi pelapis.Banyaknya galaktosidase yang berikatan dalam immuncomplex dideterminasi secara spektrofotometri menggunakan CPRG sebagai substratnya.
Reagen yang digunakan
Aprotinin*, Bovine serum albumin*, CaCl2, Chlorophenolred-D-galacto-pyranoside (CPRG)*, EDTA, Hepes*, MgCl2, Na-azide, NaCl, Na2CO3, NaHCO3, Phenylmethylsulfonyl fluoride (PMSF)*, Tris-HCI, Triton X-100*.
Penyiapan larutan
1. Coating buffer (larutan I): 50 mM Na2CO3/NaHCO3, 0,1% sodium azide (w/v), pH 9,6.
2. Coating solution (larutan II): sesaat sebelum digunakan encerkan larutan antibodi dengan coating buffer. Konsentrasinya bergantung pada plates yang digunakan, biasanya pada rentangan 0,1–1
mg antibodi/ml.
3. Blocking solution (larutan III): 0,5% bovine serum albumin (w/v) dalam coating buffer.
4. Sample/standard dan conyugate buffer (larutan IV): 50 mM Tris-HCl, 200 mM NaCl, 10 mM CaCl2, 1% bovine serum albumin (w/v), 0,1% Triton X-100 (w/v), 0,05% natrium azida (w/v), pH 7,0. Larutan konsentrasi ganda: 100 mM Tris-HCl, 400 mM NaCl, 20 mM CaCl2, 2% bovine serum albumin (w/v), 0,2 % Triton X-100 (w/v), 0,1% sodium azide (w/v), pH 7,0.
5. Extaction bufer (larutan V): 100 mM Tris-HCl, 400 mM NaCl, 2% bovine serum albumin (w/v), 0,05% natrium azida (w/v), pH 7,0. Buffer ini juga mengandung inhibitor protease berikut, yang harus ditambahkan segera sesaat sebelum digunakan :1 mM PMSF (larutkan PMSF dalam dimethilsulfoksida dan diencerkan 1:1000 menjadi 1 mM di dalam extraction buffer), 7
mg/ml aprotinin (40 kallikrein inhibitor units/ml), 4 mM EDTA.
6. Washing buffer (larutan VI): larutan sample buffer (larutan IV) tanpa bovine serum albumin.
7. Substrate buffer (larutan VII): 100 mM Hepes, 150 mM NaCl, 2 mM MgCl2, 1% bovine serum albumin (w/v), 0,1% natrium azida (w/v), pH 7,0.
8. Substrate solution (larutan VIII): 40 mg Chlorophenolred–D-galactopyranoside dengan 20 ml substrate buffer (larutan VII). Aduk larutan selama paling sedikit 20 menit pada temperatur 15-25°C.
9. Antibody-
b-gal-conyugate solution (larutan IX): campurkan 1 volume reconstituted anti-NGF–gal conjugate dengan 9 volume conjugate buffer (IV).
10. NGF-
b-standard solution (larutan X): untuk mendapatkan kurva kalibrasi (triplicate), encerkan larutan standar sesuai dengan konsentrasi NGF-spesifik dalam sample buffer (IV) untuk mendapatkan konsentrasi NGF 1 ng/ml (= measuring point 1). Dari larutan ini dipersiapkan standar untuk measuring points lainnya dengan cara pengencaran bertingkat dengan faktor 2. Sederetan standar NGF yang dimiliki adalah; measuring point 1 (1 ng/ml), 700 ml; measuring point 2 (0,5 ng/ml): 350 ml standard-solution + 350 ml buffer IV; measuring point 3 (0,25 ng/ml): 350 ml standard-solution + 350 ml buffer IV; measuring point 4 (0,125 ng/ml): 350 ml standard-solution + 350 ml buffer IV; measuring point 5 (0,062 ng/ml): 350 ml standard-solution + 350 ml buffer IV; measuring point 6 (0,031 ng/ml): 350 ml standard-solution + 350 ml buffer IV.
Stabilitas larutan
Larutan I dan Vl stabil selama 6 bulan jika disimpan pada 2-8°C. Larutan III, IV, V dan Vll stabil selama 2 bulan jika disimpan pada 2-8°C. Larutan II, VlII, IX dan X adalag larutan yang segera digunakan (tidak stabil).
Bahan sampel
Jaringan, darah, serum atau cairan serebrospinal.Direkomendasikan untuk menambahkan inhibitor protease pada sampel sesegera mungkin.
Pretreatmen sampel
1. Jaringan; homogenkan jaringan dengan extraction buffer (V) (campuran 1:1) dalam gelas homogenizer, sentrifugasi homogenat tersebut selama 10 menit pada temperatur 2-8°C dan 100.000 × g (ultracentrifuge) dan campur supernatannya dengan 1:1 dengan 0,2 %Triton X-100 (v/v), 20 mM CaCl2.
2. Darah, serum, dan cairan serebrospinal; segera setelah sampel diambil tambahkan dengan 20
ml aprotinin/ml sampel (100 kallikrein inhibitor units/ml), inkubasi selama 1 jam pada temperatur 15-25°C, dan kemudia selama semalam pada temperatur 2-8°C. Sentrifugasi selama 20 menit pada 2-8°C dan 2000 × g. Encerkan supernatan dengan 1:1 dengan double concentrated sample/conjugate buffer (IV).
Prosedur assay
Untuk setiap analisis hendaklah dibuat kurva kalibrasinya. Pelaksanaan satu seri analisis sebaiknya dilakukan pada satu microtiter plate untuk mengurangi variasi pengukuran akibat pengaruh plate.Untuk mendapatkan hasil yang optimal analisis sebaiknya dilakukan triplicate.
1. Coating the microtiter plate with antibody: pipet sebanyak 150
ml coating solution (larutan II) ke dalam wells dari microtiter plate, tutup plate dengan rapat dan inkubasikan selama 2 jam pada temperatur 37°C.
2. Blocking: pisahkan coating solution secara menyeluruh dengan memipet dan membuangnya pada tissu atau suksion. Kemudian pipet 200
ml blocking solution (III) dan tambahkan ke dalam masing-masing well microtiter plate, tutup plate dengan rapat dan kuat dan inkubasikan selama 30 menit pada temperatur 37°C.
3. Washing: pisahkan larutan dari wells dengan suksion atau pemipetan dan dibuang ke dalam kertas tissu, cuci wells paling sedikit 3 kali dengan menggunakan washing buffer (Vl). Selanjutnya pisahkan semua washing buffer.
4. Incubation with sample and standard solution: Ambil dengan pipet sebanyak 100
ml larutan sampel atau standar (X) dan masukkan ke dalam well, tutup plate dengan rapat dan kuat dan inkubasi semalam pada temperatur 2-8°C.
5. Washing: lakukan hal yang sama seperti pada prosedur 3.
6. Incubation with anti-NGF-
b-gal: tambahkan dengan pipet 100 ml larutan antibody-gal (IX) ke dalam masing-masing well, tutup plate dengan rapat dan inkubasikan selama 4 jam pada temperatur 37°C.
7. Washing: lakukan hal yang sama seperti prosedur 3.
8. Substrate reaction: tambahkan sebanyak 200
ml substrate solution (VIII) pada masing-masing well microtiter plate dan inkubasi pada temperatur 37°C sampai terjadi pengembangan warna yang tepat untuk pengukuran dengan spektrofotometer (untuk measuring point 1 nilai absorbansi E = 1,0 –1,5 setelah inkubasi sekitar 30 menit).
9. Measurement: pengukuran juga dilakukan terhadap substrate solution (VIII) sebagai blanko pada 574 nm or Hg 578 nm.
Interpretasi hasil
Nilai absorbansi yang diukur diplot sebagai sumbu ordinat-y, terhadap konsentrasi standar sebagai sumbu aksis-x (seperti ditunjukkan dengan Gambar 7).Konsentrasi sampel ditentukan berdasarkan kurva tersebut.
Gambar 7 a. Kurva Standar Untuk hNGF-b (manusia);
b. Kurva Standar Untuk mNGF-
b (tikus).
Nilai absorbansi sangat bergantung pada waktu inkubasi substrate dan ELISA reader dand nilai semacam ini tidak dapat digunakan sebagai referen.
Interleukin-1 (IL-1)
Monosit adalah sumber utama sekresi IL-1. Sekresi IL-1 dari monosit ini lebih dikenal sebagai IL-1-
b,  sedangkan keratinosit mengsekresikan IL-1-a lebih banyak. Sementara didapatkan bahwa makrofag memberikan adanya transisi produksi dari IL-1-a menjadi IL-1-a dalam proses maturasi monosit menuju inflamasi makrofag (Van Deuren, dkk., 1997; Anirban, dkk., 2002). IL-1 juga diproduksi oleh makrofag aktif dari sumber lainnya (makrofag alveolar, sel-sel Kupffer, adherent spleen dan makrofag peritoneal) serta oleh perifer neutrofil-granulosit. Di samping itu juga sel-sel: endotil, fibroblas, smooth muscle cells, keratinosit, sel Langerhans kulit, osteoklas, astrosit, epitil timus dan kornea, sel T, sel B, sel NK juga memproduksi IL-1.
Produksi IL-1ß adalah melalui siklus nonclassical sekresi protein.Agonis toll-like receptor (TLR) seperti endotoksin menginisiasi sintesis prekursor IL-1ß yang tidak aktif (Gambar 8 A).Walaupun kebanyakan prekursor IL-1ß berada di dalam sitosol, ada sebagian yang berpindah ke dalam sekresi khusus lisosom.Pada lisosom ini prekursor IL-1ß berkoloni dengan prokaspase-1 (Gambar 8 B).Langkah berikutnya adalah konversi prokaspase-1 yang tidak aktif menjadi kaspase-1 aktif melalui suatu komplek protein yang disebut “IL-1ß inflammasome” (Dinarello, 2005). Selama inisiasi sintesis IL-1ß, terjadi aktivasi kaspase-1, yang kemudian terjadi proses maturasi prekursor IL-1ß untuk disekresikan (Gambar 8 C dan D). Aktivasi reseptor nukleotida P2X7 memicu efflux ion kalium ke luar sel, dan dalam beberapa menit kemudian lisosom melepaskan IL-1ß menuju ke ekstraselular milieu. Dalam mendukung peran P2X7, jika terjadi ekspresi reseptor berlebihan meningkatkan sekresi IL-1ß, namun jika reseptor tersebut tidak ada maka tidak akan terjadi sekresi IL-1ß (Gudipaty, dkk., 2003; Solle, dkk., 2001).
Gambar 8 Langkah-langkah Proses Sekresi IL-1ß (Dinarello, 2005).
A. Ligan TLR seperti endotoksin memicu ekspresi gen dan sintesis
prekursor IL-1ß yang tetap berada pada sitosol.
B. Setelah ada signal TLR, prokaspase-1 mengekspresikan gen
NALP-3 yang bergabung dengan IL-1ß.
C. Aktivasi reseptor P2X7 oleh ATP atau LL37 menginisiasi
efflux ion kalium dari sel, mengaktifkan kaspase-1 dan
membelah prekursor IL-1ß menghasilkan sitokin yang aktif.
D. Efflux ion kalium mengakibatkan influx ion kalsium, yang
mengaktifkan fosfolipase, memfasilitasi eksositosis lisosom dan
sekresi IL-1.
Peptida LL37 yang dilepaskan dari pengaktifan neutrofil dan sel epitil juga menstimulasi pelepasan pembentukkan IL-1ß melalui reseptor P2X7. (Elssner, dkk., 2004). Efflux ion kalium memberi signal untuk terjadinya influx ion kalsium, kejadian sebaliknya akan mengaktifkan fosfolipase (Andrei, dkk., 2004). Ini menunjukkan bahwa fosfolipase A2 yang bergantung pada kalsium diperlukan untuk pemrosesan kaspase-1 dalam lisosom, sedangkan fosfolipase C fosfatidilkolin diperlukan untuk pelepasan dan eksositosis lisosom (Andrei, dkk., 2004). Gangguan pada masing-masing langkah ini kemungkinan sebagai penyebab peningkatan sekresi IL-1ß dan timbulnya penyakit-penyakit yang dimediasi oleh IL-1 (Dinarello, 2005).
Beberapa penyakit sistemik, seperti fever berulang-ulang, nutrofilia, trombositosis, peningkatan amiloid serum, peningkatan protein reaktif, anemia, kulit bersisik, gangguan pendengaran, pertumbuhan yang terganggu dan meningitis merupakan penyakit-penyakit yang dapat dimediasi oleh IL-1 seperti yang ditunjukkan dengan Gambar 9 (Dinarello, 2005).
Gambar 9 Fungsi Sistemik IL-1 dalam Memediasi Penyakit (Dinarello, 2005)
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9, IL-1 beberapa target yang merupakan penyebab penyakit-penyakit sistemik.IL-1ß aktif disekresikan oleh beberapa sel termasuk monosit dan makrofag (gambar warna biru di tengah-tengah).IL-1ß memasuki sirkulasi dan memicu reseptor IL-1 pada jaringan hipotalamus vaskular untuk mensintesis siklooksigenase-2, sehingga mengakibatkan prostaglandin E2 di dalam otak meningkat. Hal ini akan mengaktifkan pusat pengaturan panas untuk menghasilkan timbulnya fever to rise, thus activating the thermoregulatory center for fever production (Dinarello, 2004). Pada perifer, IL-1ß mengaktivasi reseptor IL-1 dalam endotil mengakibatkan munculnya sisik dan produksi IL-6.Sirkulasi IL-6 menstimuli hepatosit liver untuk mensintesis beberapa protein fase akut yang berperan dalam peningkatan sedimentasi eritrosit pada penyakit atritis rematoid.IL-1 juga berperan dalam bone marrow untuk meningkatkan mobilisasi progenitor granulosit dan pematangan neutrofil mengakibatkan neutrofilia perifer.IL-1 menginduksi IL-6 sehingga meningkatkan produksi platelet yang mengakibatkan munculnya trombositosis.IL-1 juga mengakibatkan penurunan respon terhadap eritropoietin yang dapat menimbulkan anemia.
Adanya IL-1 pada CSS adalah akibat sintesis lokal dan juga transpor langsung melalui blood-brain barrier dari saturable carrier system dan kemampuan limfosit-T aktif untuk menembus blood-brain barrier tersebut.Pada dasarnya jumlah IL-1 di dalam otak adalah sedikit, namun konsentrasinya meningkat apabila terjadi cedera.Penurunan jumlah IL-1 adalah berhubungan dengan beragam penyakit neurodegenerative (Rothwell, 1999). Sebagai contoh, IL-1
b terinduksi dengan cepat pada strok, demikian juga pada tikus coba yang mengalami penurunan produksi IL-1 akan terlindungi dari cedera iskemik. Demikian juga pemberian antagonis reseptor IL-1 (IL-1R) atau antibodi blok IL-1b dapat mencegah kematian neuron akibat iskemia. Dilaporkan pula bahwa terjadi peningkatan produksi IL-1b di sekitar plak amilod pada otak pasien penderita Alzheimer dan Down syndrome.IL-1 juga mengalami penurunan pada CSS pada pasien multiple sclerosis (MS).IL-1 dapat memicu respon adaptif ataupun maladaptif makroglia dan mikroglia.IL-1 dapat menginduksi produksi beragam faktor pertumbuhan dan tropik mencakup fibroblast growth factor-2 (FGF-2), transforming growth factor-1 (TGF-b1), dan nerve growth factor (NGF), yang berperan dalam memicu keberlangsungan neuron CNS.IL-1 juga sebagai aktivator potensial dari sel-sel astroglial.IL-1, juga berperan sebagai stimuli mediator inflamasi lainnya, seperti fosfolipase A2, siklooksigenase-2 (Cox-2), prostaglandin, nitrit oksida, matriks metalloproteinase, dan kollagenase.Lebih jauh lagi, IL-1 dapat memicu produksi molekul; adesi dan menginduksi produksi sitokin lainnya.Sebagai contoh, IL-1 dapat menginduksi produksi IL-6, tumor necrosis factor-a (TNF-a).
Protein IL-1
Seperti telah diuraikan di atas terdapat dua bentuk fungsional yang hampir ekivalen dari IL-1 yaitu IL-1-
a (17 kDa, 159 asam amino; pI =5,0) dan IL-1-b (17 kDa, 153 asam amino; pI =7,0) yang dikode oleh dua gen yang berbeda. IL-1-b bentuk yang dominan didapatkan pada manusia, sedangkan IL-1-a didapatkan pada tikus.
Sebagai protein IL-1-
a dan IL-1-b menunjukkan sekitar 27 % kesamaan terutamanya terdapat pada bagian terminal-karboksi, sehingga dalam pemberian nama tersebut hampir tidak memberikan perbedaan yang berarti. Sebaliknya, bentuk tiga dimensi kedua IL-1 tersebut adalah hampir identik. Kedua bentuk adalah berupa protein sperik tanpa adanya daerah a-helik, dan keduanya dapat terikat pada reseptor yang sama.
IL-1-
a dan IL-1-b disintesis sebagai molekul prekursor berukuran sekitar 35 kDa (271 prekursor asam amino untuk IL-1-a dan 269 prekursor asam amino untuk IL-1-b).Protein yang sudah matang dihasilkan oleh pembelahan proteolitik oleh sejumlah enzim protease.IL-1 berukuran kecil (11, 4, 2 kDa) diketemukan pula pada serum dan disekresikan melalui urin.Prekursor IL-1-a mempunyai aktivitas biologi, namun tidak demikian halnya dengan prekursor IL-1-b.
ELISA IL-1
ELISA IL-1 menggunakan prosedur yang sesuai petunjuk dari ELISA tersebut, dalam hal ini kit ELISA IL-1 dibeli dari Pelikine Compact Human IL-I BETA ELISA Kit CAT# RDI-M1934clb.
Prinsip tes
ELISA Kit Pelikine untuk analisis IL-1
b untuk manusia adalah merupakan ELISA kit dengan tipe sandwich imunoassay enzim dimana antibodi monoklonal anti-human IL-1b diikatkan pada microtiter wells terbuat dari polistirin. IL-1b yang ada pada sampel ataupun standar ditangkap oleh antibodi yang ada pada microtiter plate, dan yang tidak berikatan dipisahkan dengan pencucian.Selanjutnya, ditambahkan monoklonal antibodi biotinil huIL-1b.Antibodi ini berikatan dengan kompleks huIL-1b-antibodi yang ada dalam microtiter well. Kelebihannya dihilangkan dengan cara pencucian, diikuti dengan penambahan horseradish peroxidase (HRP) yang terkonyugasi dengan streptavidin, yang akan berikatan dengan sisi biotinil huIL-1b sandwich. Setelah pemisahan HRP yang tidak berikatan dengan cara pencucian, kemudian ditambahkan larutan substrat ke dalam well. Dihasilkan warna yang bersesuaian dengan proporsi IL-1b dari sampel atau standar.Setelah reaksinya diakhiri dengan menambahkan larutan pemberhenti reaksi, barulah absorbansinya diukur menggunakan microtiter plate reader. Dari kurva absorbansi sampel dan standar dapat dicari konsentrasi huIL-1b dengan cara interpolasi kurva standarnya.
Penyimpanan dan kestabilan
Kit ELISA Pelikine untuk analisis hIL-1
b harus disimpan pada 18 0C to -32 0C, sehingga bahan-bahan untuk analisis dapat bertahan sesuai dengan batas daluarsa yang dicantumkan pada produk tersebut.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum analisis
Untuk mendapatkan hasil analisis yang optimum, maka sebelum dilakukan analisis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penggunaan Kit ELISA Pelikine, yaitu;
1. Kit ELISA ini dibuat khusus hanya untuk kepentingan penelitian.
2. Gunakan hanya reagen dan microtiter plates yang telah ada pada kit ini, jangan menggunakan bahan lain ataupun mencampur reagen dari produk lain.
3. Sampel plasma dan serum ditangani hati-hati untuk mencegah transmisi penyakit.
4. Natrium azida dapat mentidakaktifkan HRP, jadi jangan menambahkan bahan tersebut ke dalam reagen yang digunakan.
5. Semua reagen dalam kit mengandung thiomersal (0,001 % w/v), bahan ini bila terhirup dapat mengakibatkan keracunan ataupun bila terkena pada kulit. Jadi hindarkan kontak, dengan kulit, mata.
6. Sentrifugasi semua vial sebelum digunakan (1 menit 3000 x g).
7. Jangan biarkan plate yang telah diisi bahan untuk penelitian untuk tidak ditutup, karena dapat mengakibatkat well kering.
Larutan bufer dan pelarut lain yang diperlukan
Di samping bahan-bahan yang telah ada pada kit, juga diperlukan bahan-bahan lain yang harus disiapkan sebelum analisis dilakukan, bahan-bahan tersebut adalah;
1. Bufer pelapis; 0,1M karbonat/bikarbonat, buffer pH 9,6. Larutan A: 1,24 g Na2CO3.H2O dalam 100 ml akuades, larutan B: 1,68 g NaHCO3 dalam 200 ml akuades. Ambil 70 ml larutan A, dan tambahkan larutan B sampai pH 9,6 (penambahan sekitar 175 ml larutan B). Bufer ini stabil sampai 1 minggu kalau didimpan pada 2 – 8 0C.
2. Larutan stok PBS (20 x): 0,2 M Phosphate Buffered Saline (PBS); larutkan 32 g Na2HPO4.2H20, 6 g NaH2PO4.2H20, 164 g NaC1 dalam 900 ml akuades (pengadukan dan pemanasan dapat mempercepat pelarutan). Biarkan sampai temperatur kamar (18-25 0C) uji pH nya; jika perlu atur pH menjadi 6,8 – 6,9 dengan penambahan HC1 atau NaOH pekat, dan tambahkan akuades sampai volume tepat 1 liter (jika diencerkan 20 kali maka pH menjadi 7,2 -7,4). Tambahkan 20 mg thiomersal sebagai preservatif.Larutan ini stabil dalam 3 bulan bila disimpan pada 2-8 0C.
3. Bufer pencuci: PBS dengan 0,005 % TWEEN 20; Buat 1 liter PBS dengan mengencerkan larutan stok PBS 20 kali dengan akuades. Tambahkan 50
ml TWEEN 20.Larutan ini stabil dalam 1 bulan bila disimpan pada 2-8 0C.
4. Bufer substrat: 0,11 M bufer asetat pH 5,5; larutkan 15,0 g natrium asetat (CH3COONa.3H20) dalam 800 ml akuades. Atur pH mencapai 5,5 dengan penambahan asam asetat glasial, tambahkan akuades agar volume menjadi 1 liter. Larutan ini stabil sampai 1 mingu bila disimpan pada 2-8 0C.
5. Larutan stok 3,5,3′,5′-tetramethylbenzidine (TMB): 6mg/ml TMB dalam DMSO; larutkan 30 mg TMB dalam 5 ml dimethylsulfoxide (DMSO). Larutan ini stabil dalam 1 bulan pada temperatur kamar dan terhindar dari sinar.
6. Larutak stok hidrogen peroksida: larutan 3% H202 dalam akuades. Larutan ini stabil dalam 1 bulan bila disimpan pada 2-8 0C.
7. Larutan substrat; untuk masing-masing plate buatlah reagen berikut; campurkan 12 ml bufer substrat, 200
ml larutan stok TMB, 12 ml H202. Larutan substrat ini harus dibuat sesaat sebelum digunakan.
8. Larutan penyetop reaksi: 1,8 M H2S04 dalam akuades.
Prosedur assay
1. Penyiapan microtiter plate: siapkan coating antibody yaitu dengan melarutkan 120 ml antibodi tersebut ke dalam 12 ml coating buffer, setiap well microtiter plate, diisi dengan 100 ml coating antibody tersebut, tutup microtiter plate dengan rapat dan inkubasikan semalam pada temperatur kamar (18-25 0C). Cuci dengan bufer pencuci, aspirasi supernatannya, tambahkan bufer pencuci sampai penuh, aspirasi lagi, lakukan hal ini 4 kali, pada aspirasi terakhir semua well microtiter plate harus kering (tanpa supernatan). Tambahkan 200 ml blocking buffer kesemua wells, tutup dengan rapat, sedikit digoyangkan dan inkubasi selama 1 jam pada suhu kamar.
2. Preparasi kurva standar hIL-1
b; siapkan 7 buah tabung dan beri masing-masing label 300; 100; 33; 11; 3,6, 1,2, dan 0,4pg/ml. Masukkan 450 ml bufer pengencer ke dalam tabung berlabel 300 pg/ml dan 300 ml bufer tersebut ke tabung lainnya. Transfer 50 ml standar IL-1b (3000 pg/ml) ke dalam tabung yang berlabel 300pg/ml, campur dengan baik, dan transfer 150ml larutan ini ke dalam tabung berlabel 100 pg/ml. Ulangi pengenceran selanjutnya untuk masing-masing tabung berikutnya, sehingga didapatkan kurva standar dengan konsentrasi 300; 100; 33; 11; 3,6; 1,2; 0,4 dan 0 pg/ml (buffer pengencer).
3. Tritmen sampel; masukkan sampel CSS sebanyak 100
ml ke dalam well, tutup microtiter plate dengan kuat dan inkubasi semalam pada temperatur kamar. Cuci microtiter plate dengan bufer pencuci, aspirasi supernatannya, lakukan pencucian sampai 5 kali, aspirasi terakhir well harus kering. Inkubasi selama 1 jam pada temperatur kamar. Aspirasi supernatannya, kemudian dilakukan pencuciam lagi sebanyak 5 kali menggunakan bufer pencuci, Aspirasi terakhir well harus dalam keadaan kering. Tambahkan 100 ml antibodi biotinil IL-1b pada masing-masing well microtiter plate, tutup plate dengan rapat inkubasi selama 1 jam pada temperatur kamar.
4. Aspirasi supernatannya dan cuci seperti pada prosedur 5. Tambahkan 100
ml of streptavidin-poly-HRP pada wells. Tutup microtiter plate dengan rapat dan goyangkan perlahan serta inkubasi selama 30 menit pada temperatur kamar.
5. Aspirasi supernatannya dan cuci seperti pada prosedur 5, tambahkan 100
ml larutan substrat pada masing-masing wells, termasuk juga pada perlakuan blanko. Tutup microtiter plate dengan rapat, goyangkan perlahan agar merata dan inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar.
6. Tambahkan 100
ml larutan pemberhenti reaksi pada semua wells. Setelah reaksi dihentikan warna yang timbul akan stabil dalam selang waktu 30 menit.
7. Lakukan pembacaan absorbansi pada 450 nm menggunakan ELISA reader.
8. Dari data absorbansi dibuat grafik antara absorbansi vs. konsentrasi standar, konsentrasi IL-1
b pada sampel dicari secara interpolasi kurva standar. Grafik yang didapatkan adalah serupa seperti pada grafik pada Gambar 6.
Interleukin-6 (IL-6)
IL-6 adalah sitokin multifungsi yang dihasilkan olel berbagai jenis sel (Akira, and Kishimoto, 1993; Michael, dkk., 1997). Aktivitas IL-6 adalah sebagai akibat terjadinya interaksi dengan reseptornya yang spesifik yang diekspresikan pada permukaan sel target. Pertama-tama IL-6 berikatan dengan subunit-
a glikoprotein dengan afinitas rendah (80-kD) yang lebih dikenal dengan nama reseptor IL-6 (IL-6R) atau gp80. Kompleks IL-6/IL-6R ini merekrut transduksi signal subunit-b berupa glikoprotein dengan ukuran 130 kD atau sering disebut gp130. Hubungan antara gp130 dengan IL-6 dan IL-6R membuat suatu kompleks dengan afinitas tinggi IL-6R dengan 2 subunit gp130 melalui ikatan kovalen, dan demikian juga pengikatannya dengan transduksi signal gp130 tidak terjadi sendiri-sendiri IL-6 atau IL-6R melainkan terjadi setelah melalui pembentukan kompleks IL-6/IL-6R seperti ditunjukkan pada Gambar 10 (Michael, dkk., 1997; Varghese, 2002).
Struktur IL-6 adalah berupa struktur protein 4-
a helik termasuk golongan hematopoietin dalam penggolongan sitokin.Kedua subunit reseptor IL-6, IL-6R dan gp130, juga diklasifikasikan ke dalam kelompok famili reseptor sitokin hematopoietin.Bagian ekstraselularnya mengandung domain menyerupai fibronektin-III. Aktivitas dari IL-6 diketemukan bersinergi dengan aktivitas IL-11, cilliary neurotrophic factor (CNTF), leukemia-inhibitory factor (LIF), oncostatin M (OSM), dan cardiotrophin-1 (CT-1), yang kesemuanya termasuk kelompok subfamili IL-6 sebagai akibat adanya peranaktif dari gp130 sebagai subumit transduksi signal dalam responnya terhadap kompleks reseptor dengan afinitas tinggi (Kishimoto, dkk., 1995; Varghese, 2002)
Gambar 10 Pengikatan Ekstraselular IL-6 dengan Reseptor IL-6R
(Michael, dkk., 1997). A. Nampak pada Permukaaan sel,
B. Warna abu-abu hIL-6, kuning IL-6R.
IL-6 juga merupakan mediator respon inflamasi yang berperan dalam induksi protein fase akut dan perkembangan fever. Hubungan antara tingkat IL-6 pada proses inflamasi berbagai penyakit telah dilaporkan, seperti pada cairan sinofial, serum reumatoid artritis, tubercolosis, dan juga stroke (Ahmet, dkk., 2001; Craig, dkk., 2004). Diketemukan pula bahwa magnitud respon IL-6 di dalam CSS setelah perinatal asphyxia berhubungan dengan severitas neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE), pada cedera otak (Martín-Ancel, 1997), hasil ini menunjukkan bahwa IL-6 berperan dalam cedera otak neonatal hypoxic-ischemic. Dilaporkan pula bahwa terjadi penurunan IL-6 pada serum pasien penderita septic shock, multiple myeloma dan alcoholic hepatitis, demikian juga terdapat perbedaan IL-6 yang signifikan antara orang sehat dengan orang yang sakit (Craig, dkk., 2004).
ELISA IL-6
Bioassays kuantifikasi IL-6, pada awalnya dilakukan berdasarkan pada proliferasi hibridoma sel B. Assays semacam ini memberikan hasil dengan sensitivitas tinggi, namun memerlukan waktu relatif lama dan juga sering terjadi inferen oleh bahan-bahan lain. Pada dekade terakhir ini, assays yang sering digunakan adalah WLISA IL-6, dengan memberikan hasil yang lebih cepat, lebih reprodusibel, dan spesifik.Secara keseluruhan prosedur ELISA untuk IL-6 adalah serupa dengan prosedur ELISA untuk IL-1 yang telah diuraikan di atas.











Warna

Cairan serebrospinal normal tidak berwarna.Adanya warna pada cairan ini biasanya menunjukkan hal abnormal.

Xantokrom (kekuningan): perdarahan subarakhnoid, meningitis tuberkulosis, dan neonatus normal.
Kuning: hiperbilirubinemia, hemolisis.
Oranye: hiperkarotenemia, hemolisis.
Merah muda: hemolisis.
Hijau: hiperbilirubinemia, meningitis bakterial.
Coklat: meningitis melanomatosis.
Hitung sel

Cairan serebrospinal normal hanya mengandung 0-5 leukosit/mm3.

Pada pasien meningitis purulen (bakterial), dapat ditemukan jumlah sel lebih dari 100-1000 leukosit/mm3.Jumlah sel lebih dari normal, tapi kurang dari 100, dapat ditemukan pada meningitis viral. Penyebab jumlah sel di cairan serebrospinal meningkat selain infeksi antara lain penyakit keganasan, perdarahan intraserebral, dan setelah serangan kejang.

Dominasi sel netrofil atau sel polimorfonuklear (PMN) dapat ditemukan pada meningitis bakterial stadium awal.Dominasi eosinofil cukup sering berkaitan dengan meningitis atau ensefalitis oleh parasit.Sedangkan dominasi limfosit-monosit (mononuklear / MN) ditemukan pada meningitis viral, tuberkulosis, atau fungal.

Protein

Protein pada cairan serebrospinal normal mengandung 18-58 mg/dL protein.

Peningkatan protein dapat terjadi akibat infeksi, perdarahan, multiple sclerosis, dan keganasan.Sedangkan protein yang rendah mungkin ditemukan pada bayi atau anak berusia di bawah 2 tahun dan pada intoksikasi air.Hipoproteinemia atau hipoalbuminemia tidak menyebabkan protein cairan serebrospinal menurun.

Glukosa

Glukosa pada cairan serebrospinal biasanya sama dengan 2/3 kali glukosa darah orang yang bersangkutan 2-4 jam sebelumnya.

Satu-satunya penyebab peningkatan glukosa pada cairan serebrospinal adalah diabetes melitus.Namun glukosa cairan dalam kasus ini tidak pernah melebihi 300 mg/dL.

Penurunan glukosa cairan serebrospinal biasanya disebabkan infeksi.Infeksi bakteri menyebabkan glukosa turun sampai sangat rendah, namun infeksi virus yang hanya menyebabkan glukosa turun sedikit. Pemeriksaan ini tidak selalu sensitif menyingkirkan infeksi karena 50% pasien meningitis menunjukkan kadar glukosa cairan serebrospinal normal.

Kultur

Untuk menyingkirkan atau mengkonfirmasi diagnosis infeksi, baik ensefalitis maupun meningitis, dapat dilakukan kultur cairan serebrospinal terhadap beberapa mikroorganisme. Mikroorganisme yang dimaksud antara lain pneumococcus, meningococcus, Haemophilus influenza (bakteri), Enterovirus (virus), Mycobacterium tuberculosis (tuberkulosis), dan Cryptococcus neoformans (fungal). Dalam kasus tertentu mungkin juga perlu diperiksa kemungkinan toksoplasmosis.

Perbandingan hasil analisis cairan serebrospinal pada meningitis dari berbagai penyebab dapat dilihat pada gambar berikut.



Selain pemeriksaan rutin di atas, kadang juga diperiksa uji aglutinasi lateks untuk Haemophilus influenza dan PCR (polymerase chain reaction). Aglutinasi lateks merupakan uji antigen-antibodi yang bermanfaat pada kasus meningitis Haemophilus yang sudah mendapat pengobatan sebagian; karena pemeriksaan kultur pada kasus ini mungkin memberi hasil negatif. Sedangkan PCR merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk berbagai jenis penyebab infeksi sistem saraf pusat, namun biayanya masih cukup tinggi dan belum tersedia di seluruh laboratorium.

Sumber: American Family Physician, 2003

(hnz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar